Diskusi “Kekerasan Seksual”

Diskusi rutin Kojigema Institute pada 6 September 2013 mengambil tema Kekerasan seksual, bertempat di kediaman aktivis Wiwik, di daerah Tlogomas, Malang. Hadir dalam diskusi ini beberapa anggota Kojigema, yaitu Ekky, Fitri, Mamad, Niken, Wiwik.

Diskusi dibuka oleh Fitri selaku Ketua KI sambil mempersilakan peserta untuk mulai berbagi seputar pengalaman kekerasan seksual.

Pengalaman Wiwik.
Wiwik lahir dari keluarga miskin dan hidup di lingkungan pedesaan. Kekerasan yang dia alami dimulai ketika dia berusia 4 tahun. Awalnya adalah pelecehan dari kerabat laki-laki yang sering tinggal satu rumah. Karena masih kecil dan dilakukan kerabat, perlakuan tersebut dianggap sebagai ekspresi kasih sayang dan “ngemong”. Frekuensi kekerasan menjadi semakin rutin. Pelaku juga menceritakan pengalamannya kepada temannya dan mengajak teman untuk melakukan hal yang sama kepada Wiwik. Perlakuan tersebut dialami sekitar 6  bulan. Meskipun masih kecil, Wiwik merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut.

Dia sulit bercerita kepada orang lain terutama kepada orang tua karena mereka sudah direpotkan dengan urusan mencari nafkah keluarga. Belum lagi ada anggapan bahwa perlakuan tersebut dianggap aib yang akan menjadi beban keluarga. Wiwik menyalahkan pikirannya yang ketika itu lebih cepat dewasa dibanding anak-anak lain sehingga trauma yang dialami semakin berat.

Dampak kekerasan seksual untuk jangka panjang yang dirasakan Wiwik adalah

  • suka menyimpan perasaan
  • tidak percaya diri
  • menekan sisi feminin
  • merasa tidak sempurna
  • tidak mengenal seksualitas perempuan secara positif
  • pribadinya sebagai perempuan tidak berkembang
  • trauma bertemu pelaku
  • sulit menjalin hubungan dengan laki-laki

Wiwik mulai bisa menjalin relasi dengan baik pada usia 24 tahun. Pada saat itu dia lebih percaya diri dan membangun pemaknaan diri yang lebih positif.

Pengalaman Mamad.
Mamad lahir dari keluarga di desa dan dikelilingi oleh kultur masyarakat Madura. Dia menganggap dirinya sebagai pelaku pelecehan seksual ketika masih berusia anak-anak. Pengalaman seks dimulai pada usia 4 tahun dari perbincangan seputar seks yang lazim dilakukan orang dewasa di desa, termasuk keluarganya. Dari mendengar, dia dan kawan-kawannya yang masih berusia belia ini terdorong untuk mencobanya dengan anak perempuan yang seumuran. Perlakuan tersebut dianggap sebagai pengalaman erotis dan masa bereksperimen seksual.

Eksperimen seksual tersebut dilakukan baik pada anak perempuan dan anak laki-laki. Suatu waktu pernah tertangkap basah oleh keluarga tapi kejadian itu justru menjadi bahan candaan dan tidak diberi sanksi.

Selama masa SMA, dia bergaul dengan komunitas mesjid sehingga tumbuh menjadi sosok yang relijius. Oleh karena itu, saat masuk kuliah, Mamad belum mengetahui mengenai isu seksualitas termasuk orientasi seksual. Dia juga belum mengenal istilah gay, banci atau waria.

Pada masa kuliah tahun 1994, dia sempat mengikuti kegiatan semacam seminar dengan Dede Oetomo sebagai salah satu narasumber. Di acara itu dia baru mendengar mengenai homoseksual dan sangat terkesan dengan penampilan Dede. Dia menjalin kontak dengan Dede dan IGAMA di Malang.

Dari GN dan IGAMA, Mamad mendapat kiriman bacaan dan buletin seputar homoseksual dan hotspot di Surabaya dan Malang. Dia terdorong untuk membaca novel lain yang serupa seperti novel Titik Said. Bacaan-bacaan itu ditemukan tidak sengaja oleh pengurus masjid tempat dia tinggal. Lalu dia dinasehati untuk mengendalikan hawa nafsu oleh pengurus masjid dan tidak diperbolehkan tinggal di situ lagi. Dia mulai mendatangi beberapa hotspot di Malang. Pertama kali bertemu dengan komunitas gay dan waria di alun-alun. Dia merasa tersanjung digoda oleh laki-laki lain tapi takut ketika didekati.

Pada saat melakukan hubungan seks oral yang pertama, dia menangis karena merasa berdosa. Namun, dari pergaulannya di alun-alun, dia mulai mengenal hubungan seks dengan imbalan uang atau barang. Berhubung sejak SMA dia harus membiayai sekolahnya sendiri, imbalan uang yang dia dapatkan berdampak sangat besar pada kehidupan sehari-hari. Imbalan uang dan barang yang semakin besar dia dapatkan ketika memutuskan untuk menjalani hubungan dengan pacar laki-laki.

 

Pengalaman Fitri.

Fitri lahir sebagai anak tunggal dari orang tua yang berwirausaha dan tinggal di kota kecil. Dia belum pernah mengalami pelecehan atau eksperimen seks seperti yang dialami oleh kawan-kawan yang lain. Namun internalisasi nilai gender dia dapatkan dari orang tua, termasuk stigma mengenai homoseksual. Pada waktu kuliah, dia memaknai ulang nilai gender yang diajarkan orang tua dengan pengalaman yang dia dapatkan dari KI dan buku-buku yang dia baca. Dia juga belajar dari mendengarkan pengalaman orang lain seperti dalam diskusi ini.

Pengalaman Niken.

Pelecehan seksual yang dialami Niken hampir mirip dengan pengalaman Wiwik. Niken lahir dan besar di kompleks perumahan di Jakarta. Pada usia sekitar 5 tahun, Niken sudah mengenal seks dari eksperimennya dengan anak-anak perempuan lain. Eksperimen tersebut dilakukan tanpa paksaan.

Niken mengalami mens di kelas 5 SD dan pada saat itu mengalami pelecehan seks dari teman laki-laki. Perlakuan memegang payudara itu dilakukan secara paksa dengan mencuri-curi kesempatan dan dilakukan di depan siswa-siswi lain. Sama seperti Fitri, Niken juga sudah menginternalisasi nilai gender sehingga merasa malu dengan perlakuan tersebut. Namun tidak tahu harus bercerita kepada siapa.

Seperti halnya Wiwik, Niken juga menyalahkan diri sendiri dengan penekanan pada ketidaksukaan terhadap tubuh perempuannya. Dampak pelecehan seks untuk jangka panjang yang dirasakan Niken adalah

  • menjadi pribadi yang tertutup
  • tidak percaya diri
  • tidak suka dengan sisi feminin, bahkan ingin menjadi laki-laki
  • tidak menyukai tubuh perempuannya
  • menjadi pribadi yang sangat pemarah
  • sulit menjalin hubungan dengan laki-laki

Diskusi:

  • Ada anggapan bahwa anak-anak tidak bisa disalahkan sebagai pelaku.
  • Kemiskinan membuat orang merasa tidak berdaya. Meskipun Mamad merasa dia mempunyai kuasa untuk memilih jenis pekerjaan yang dilakukan, termasuk pekerjaan seks, tetapi dia dan keluarganya tidak memilih untuk hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan membatasi pilihan yang dimiliki oleh seseorang.
  • Relasi anak dengan orang tua berbeda-beda. Mamad optimis bahwa keluarga akan menerima jika mengetahui orientasi seksualnya. Mereka mungkin akan nelangsa dan kecewa tetapi tidak akan mengusir atau melakukan kekerasan. Berbeda dengan Wiwik yang yakin jika orang tua mengetahui kekerasan seksual yang dialaminya atau tahu pekerjaannya maka orang tua tidak akan menerimanya.
  • Kebanyakan orang tua lebih menganggap penting penilaian dari lingkungan atau tetangga daripada apa yang dirasakan oleh anaknya sebagai korban kekerasan seksual. Terutama jika orang tua memiliki status sosial di komunitasnya seperti guru sekolah, guru ngaji atau orang yang pernah naik haji. Tidak heran jika banyak korban kekerasan seksual yang enggan untuk menceritakan pengalamannya pada orang tua.
  • Meskipun anak adalah korban, orang tua akan merasa malu jika keluarganya menjadi omongan negatif dari masyarakat.
  • Guyonan seks sederhana yang diutarakan orang tua terhadap anaknya seringkali membuat anak tidak nyaman, tapi orang tua tidak memahami hal ini. Ketika guyonan seks dianggap lucu dan ditertawai, kemungkinan besar anak memahaminya sebagai sesuatu yang menghibur dan membuat orang lain senang.
  • Cara orang tua mendidik anak-anaknya adalah dengan melakukan kekerasan yang dianggap bisa mendisiplinkan mereka. Misalnya dengan menjewer telinga anak, memukul tubuh anak dengan sabuk atau sapu lidi, dan lain-lain. Seringkali ketika anak sudah dewasa, dia melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya atau anak-anak didiknya sehingga siklus kekerasan terus berlanjut.
  • UU Penghapusan KDRT menjadi penting karena siklus kekerasan dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil. Jika kekerasan dalam rumah tangga tidak dikenali dan diatasi maka anak sebagai korban bisa menjadi pelaku ketika dia tumbuh dewasa sehingga melanggengkan kekerasan di keluarga, masyarakat dan negara.
  • Ketika anak-anak menjadi orang dewasa, mereka berusaha memahami bahwa orang tua mereka juga mengalami perlakuan yang sama dari orang tua sebelumnya. Perlakuan tersebut juga dimaklumi karena orang tua mengalami kesulitan ekonomi dan sulit mengendalikan emosi.
  • Orang tua seringkali tidak mau mendengarkan cerita anak-anaknya karena orang tua juga tidak paham tentang seluk-beluk kekerasan seksual.

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *