Pendidikan Kespro, Gender dan Seksualitas pada Siswa-Siswi Difabel di Malang

1001624_319498688183149_1265725766_nWujud nyata kepedulian terhadap sesama telah ditunjukkan oleh KOJIGEMA Institute yang merupakan organisasi sosial berbasis komunitas. KOJIGEMA Institute sendiri telah berdiri sejak 25 Maret 2012 atas inisiatif dari Fitria Sari (Ketua), Muhammad Tohir (Wakil Ketua), Ahmad Fathul Aziz (Sekretaris), dan Niken Lestari (Bendahara). Atas dukungan dari UNESCO, KOJIGEMA Institute membuat suatu proyek bertajuk “Counseling and Disability Peer Educator 2013” yang bekerja sama dengan sekolah-sekolah bagi siswa difabel (different ability) di Malang.

Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran bagi kawan-kawan difabel dan non-difabel akan pentingnya pendidikan gender dan seksualitas yang komprehensif. Proyek ini di ketuai oleh Rizky Azhar Murdiono yang juga merupakan ketua devisi Gender dan Seksualitas di KOJIGEMA Institute.
Menurut Rizky Azhar, proyek ini diangkat karena melihat pendidikan seputar gender dan kesehatan reproduksi masih tabu untuk diperbincangkan di lingkungan disabilitas. Padahal kenyataannya, para remaja tak terkecuali remaja difabel termasuk kelompok yang rentan terinfeksi HIV/AIDS dan IMS karena minimnya pengetahuan seputar kesehatan reproduksi dan gender.

Selama ini, menurutnya, program pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan seputar gender dan kesehatan reproduksi hanya berpusat pada non difabel saja. “Padahal di Millenium Development Goals (MDGs) 2015 sudah dituliskan bahwa informasi ini juga termasuk para difabel,” ujar mahasiswa yang juga aktif sebagai relawan di Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya ini.
Sebelum menjalankan proyek ini, KOJIGEMA Institute telah melakukan kajian terlebih dahulu dan mendapat data dari kawan-kawan difabel bahwa banyak difabel perempuan mengalami pelecehan seksual karena adanya stigma ganda masyarakat. Selain itu, menurutnya beberapa SLB masih membatasi informasi yang diberikan kepada para difabel.

Project “Counseling and Disability Peer Educator 2013” yang di support oleh UNESCO ini mulai dilaksanakan pada 27 Maret 2013 lalu dengan program awal berupa Focussed Group Discussion (FGD) dalam rangka assessment kebutuhan para siswa/siswi SLB di Malang terkait pendidikan Kesehatan Reproduksi, Gender dan Seksualitas. Dua SLB yang terlibat adalah SLB YPTB, Oro-oro dowo dan SLB YP2, Kedungkandang. Dalam kegiatan tersebut, anggota KOJIGEMA Institute mengukur kemampuan siswa/siswi dalam penguasaan materi seputar gender dan kesehatan reproduksi. Selain melakukan FGD, pihaknya juga mengundang perwakilan guru. “Melalui FGD harapannya akan terbentuk acuan untuk membuat modul materi serta life spirit yang dibutuhkan difabel,” kata Rizky.

Pada 18 April 2013 di Universitas Brawijaya, juga telah dilaksanakan Seminar bertajuk “Seminar and Launching Program Counseling and Disability Peer Educator 2013 – The Fulfillment of the Rights to Reproductive Health and Gender Information for Disability Children” yang bertujuan untuk membentuk kesadaran dan sensitivitas mahasiswa dalam pembahasan isu disabilitas. Sebanyak 150 peserta mengikuti kegiatan tersebut yang juga dimeriahkan oleh Yohanna Febrianti yang merupakan salah satu finalis X-Factor Indonesia dan juga salah satu mahasiswi difabel di Universitas Brawijaya, Malang.

Selanjutnya dilaksanakan rangkaian Workshop yang dilaksanakan di 4 SMALB di Malang Raya. Kegiatan ini dilaksanakan selama 2 hari di masing-masing sekolah. Rangkaian workshop ini dimulai dengan SMALB Eka Mandiri yang berlokasi di Batu pada 13-14 Mei 2013. Kegiatan ini diikuti oleh siswa-siswi SMALB di sekolah tersebut. Selanjutnya, workshop kedua di SMALB YPTB, Oro-oro dowo Malang pada 29-30 Mei 2013. Dilanjutkan dengan workshop ketiga di SMALB YP2, Kedungkandang Malang pada 11-12 Juni 2013. Dan workshop yang terakhir dilakukan di SMALB PEMBINA, Lawang pada 14-15 Juni 2013. Rangkaian workshop ini dilaksanakan dalam rangka pemberian pendidikan seksualitas, kesehatan reproduksi dan gender yang komprehensif pada kawan-kawan difabel remaja yang juga merupakan kelompok beresiko.

Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari di masing-masing sekolah ini juga dalam rangka mencari dan membentuk Peer Educator (Pendidik Sebaya) yang bertujuan agar nantinya siswa-siswi yang telah mendapatkan pelatihan, bisa menjadi “guru” bagi teman-teman sebayanya. Peer educator yang dimaksud adalah siswa/siswi yang telah mendapat pendidikan dari KOJIGEMA Institute yang bisa menyampaikan materi kepada kawan difabel lain. “Dari situ diharapkan dapat terbentuk suatu ruang diskusi untuk para difabel maupun non difabel,” kata Rizky. Tidak hanya membahas seputar gender dan kesehatan reproduksi, pada masa mendatang pihaknya berharap bisa merambah isu lain seperti pendidikan, ketenagakerjaan serta fasilitas umum bagi para difabel. (zizz)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *