Kojigema Institute bekerjasama dengan PMII Komisarian Universitas Islam Malang, menyelenggarakan acara pemutaran film dan diskusi “Jembatan Bacem”, pada 30 September 2013.
Kegiatan ini mendatangkan beberapa narasumber, antara lain Gregorius Harjono, Afnan dan Fathkul Khoir sebagai pendamping. Rangkaian acara dimoderatori oleh Maria Mustika.
Acara dibuka dengan sambutan dari Mita – Ketua KOPRI UNISMA dan Fitria Sari , selaku Ketua Kojigema Institute.
Fitri berterima kasih kepada Ketua KOPRI yang telah memberi fasilitasi tempat serta menyambut semua rekan jaringan. Tema diskusi selama 3 bulan ini akan difokuskan pada kekerasan. Malam ini fokus diskusi adalah kekerasan tahun 1965.
Sambutan dari Mita. Mengucapkan selamat datang kepada rekan-rekan jaringan dan berterima kasih atas kerjasama KOPRI dengan Kojigema Institute untuk pemutaran film dan diskusi.
Fitri mempersilahkan Maria untuk memfasilitasi diskusi.
Maria: diskusi akan dimulai dengan pemutaran film membahas mengenai korban 1965 di Solo. Film berdurasi 20 menit.
Setelah diskusi selesai Maria membuka diskusi.
Saya tidak ingin mengarahkan orang. Sebuah forum tidak membicarakan tentang benar atau salah melainkan forum untuk belajar bersama. Apa ada peserta yang ingin berkomentar tentang film tersebut?
Fitri mengucapkan selamat datang kepada narasumber yang baru datang. Dia berkomentar bahwa film ini menggambarkan tentang korban pembunuhan tahun 1965 dan sesudah kejadian G30S. Korban adalah mereka yang dianggap berafiliasi atau simpatisan PKI.
Waktu SD ada pemutaran film G30S di sekolah tapi aku tidak sempat menonton. Pesannya adalah PKI harus diberantas tuntas. Kemudian aku masuk sosiologi dan belajar mengenai komunisme. Aku membaca buku Pramoedya dan bertanya apa bedanya masyarakat Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan 1945.
Maria bertanya, apakah ada peserta lain yang pernah menonton film G30S/PKI? Peserta mengatakan bahwa film Jembatan Bacem adalah film pertama dari sudut pandang lain yang pernah ditonton peserta. Apakah korban 65 mendapatkan pengadilan yang adil? Film tadi hanya sekelumit dari cerita tentang korban G30S. Maria memperkenalkan Juir, pendamping korban 65 dari Kontras Surabaya serta 2 narasumber lainnya yaitu Pak Greg dan Pak Afnan. Di dalam forum ada teman yang datang dari Buton dan Kalimantan. Apakah pernah mendengar cerita serupa di daerah setempat?
Lastri
Kalau dari film ini, saya dapat gambaran mengenai PKI. Dari kecil saya menonton film G30S versi pemerintah. Setahu saya, anggota-anggota PKI dulu tidak tahu bahwa mereka masuk partai. Mereka ditangkap karena dalam beberapa pertemuan mencantumkan nama dan tanda tangan bukti di daftar hadir.
Caca
Mungkin karena Kalimantan jauh dari daerah perjuangan sehingga dikatakan tidak turut berjuang selama masa perjuangan. Cerita tentang korban PKI belum pernah saya dengar tapi di Kutainegara pernah saya dengar cukup kencang. Di sana ada tempat-tempat dimana korban 65 dibunuh dan dipenjara. Di tempat pembunuhan itu dibangun tugu dengan nama yang tidak biasa seperti tugu Jepang, tugu Australia dan sebagainya. Penjara bagi korban 65 juga masih ada.
Maria
Ada yang ingin saya garis bawahi. Dalam film tadi, Jembatan Bacem yang asli sudah tidak ada. Yang tersisa hanya kaki jembatan. Jembatan baru dibuat dengan alasan jembatan yang lama tidak kuat. Namun kita bisa melihat bahwa ada upaya untuk menghilangkan atau mengalihkan tempat pembantaian korban 65. Penghilangan dan perubahan fungsi ini perlu dicermati. Salah satu tempat yang juga berubah fungsi adalah yang sekarang menjadi gedung Komnas HAM. Dulunya juga tempat penahanan korban 65. Di Malang, ada Chandra Wilatatikta yang sekarang menjadi tempat budaya. Menjadi pertanyaan, apa yang terjadi dengan bangsa kita? Apakah ini keadilan? Tugu-tugu dibangun untuk alasan yang tidak jelas.
Kita akan mendengar pengalaman Juir sebagai pendamping korban. Selama beberapa tahun, Kontras gencar melakukan pendokumentasian pengalaman korban 1965 dan bukti-bukti terjadinya pembantaian massal.
Juir
Terima kasih kepada panitia yang mengundang kami. Dalam 3 hari ini, kami sudah melakukan 2 kegiatan serupa. Kami menonton film “Jagal” yang bercerita dari sisi pelaku, bagaimana pembantaian yang mereka lakukan. Kami ingin menjelaskan bagaimana kejadian itu terjadi. Saya tidak mengalami langsung peristiwa 1965. Sejak 2000, Kontras intens melakukan proses advokasi korban 65 dan mulai mendesak korban untuk melaporkan ke badan internasional. Saya datang tidak sendirian tapi ikut mendampingi perwakilan dari survivor yaitu aktivis Lekra. Mereka akan bercerita langsung.
Bisa dikatakan peristiwa 65-68 merupakan periode terjadinya pembantaian yang terbesar dalam sejarah. Peristiwa 65 tidak hanya terjadi di Solo tapi di mayoritas seluruh tempat di Indonesia. Kontras melakukan pendokumentasian di Buton dan Blitar Selatan yang mengungkap banyak hal. Kita menemukan peristiwa ini sangat sistematis dan dampaknya meluas. Korban tidak hanya kader PKI tapi banyak yang tidak tahu apa-apa; mereka bukan PKI, bahkan bukan simpatisan. Seringkali konflik pribadi bisa membuat seseorang difitnah sebagai PKI dan ditangkap serta dibunuh. Saya ingin mengoreksi bahwa PKI tidak pernah memberi beras dan sejenisnya. Misalnya PPI ke kampung atau Gerwani ke desa-desa, mereka mengajarkan bagaimana perempuan memposisikan diri. Antara Gerwani dan Lekra tidak ada sangkut paut dengan komunis tapi mereka memiliki kesamaan visi dan program. Tidak ada yang namanya underbow PKI.
Di Blitar kita menemukan banyak data dan fakta kuburan massal yang belum digali secara menyeluruh. Belum diungkap bagaimana itu terjadi dan siapa yang melakukan dan bagaimana pola itu dilakukan. Perempuan yang dianggap anggota Gerwani banyak menjadi korban. Sebagian mengalami pelecehan seksual dan masih belum berani menceritakan pengalaman mereka. Peristiwa di Blitar Selatan tidak terjadi di tahun 1965 atau 1967 melainkan tahun 1968. Di Blitar ada museum Trisula untuk mengingatkan tentang operasi Trisula. Operasi tersebut dilakukan untuk mengepung dan menggiring orang-orang yang dianggap simpatisan PKI, yang sedang mengumpulkan kekuatan untuk bangkit kembali, ke Pantai Selatan.
Banyak orang yang melarikan diri ke goa. Ada peristiwa dimana seorang ibu harus meninggalkan anaknya di makam agar anaknya selamat. Dia mantan Gerwani Surabaya. Dua tahun kemarin dia bertemu anaknya tapi setelah orang tua angkat anak itu mengetahui ibunya terkait Gerwani maka si anak tidak diperbolehkan bertemu ibunya.
Selain tentara, pembantaian juga dilakukan oleh beberapa ormas Islam. Sarwo Edhi menghasut ormas Islam dengan isu PKI akan mengambil tanah kyai-kyai. Orang yang tidak mau membunuh orang PKI maka orang itu akan dibunuh oleh tentara di belakangnya. Di Blitar ada 60 titik kuburan massal. Goa Landak adalah salah satu tempat pembantaian 140 orang.
Ada seorang ibu bercerita kakaknya dipenjara di Pulau Buru yang dibebaskan tahun 1979. Suaminya dibunuh padahal bekerja sebagai guru agama. Istrinya mengalami pelecehan seksual dan baru 2011 dia bisa bercerita terbuka. Dia tidak mau bercerita ke keluarga. Pelakunya tidak hanya tentara tapi Sakera. Mereka berpakaian hitam dan ninja, memakai pedang. Sebelum membunuh dan melakukan pelecehan seksual selalu berteriak Allahu Akbar.
Di Buton, konflik dimulai tahun 1969. Korban bukan PKI tapi mereka dianggap PKI karena tanahnya mau direbut swasta. Jika mereka tidak mau menjual tanah maka mereka diancam akan dibuang di pulau tempat orang kanibal. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan selama 4 tahun. Rekomendasi mereka yaitu pembantaian yang terjadi memiliki unsur kejahatan HAM berat secara sistematis, ada komando dan dampaknya luas. Rekomendasi itu mentok di Kejaksaan Agung karena ada kekurangan bukti tapi mereka tidak mengungkapkan bukti apa yang kurang.
Di sini sudah hadir 2 korban 1965 yang berada di Surabaya dan akan bercerita mengenai pengalaman mereka.
Kesaksian Afnan
Usia saya 81 tahun. Kami akan bercerita mengenai keadaan saat itu. Pada waktu itu saya di Wonokusumo, Surabaya Utara. Pada saat kejadian setelah G30S di Jakarta, kita tidak tahu apa-apa. Saya adalah pimpinan Sarikat Buruh Angkatan Udara. Saya berjuang membangun kampung. Ini yang menjadi kebencian dari golongan hijau. Saya tidak mengatakan ini golongan apa. Penduduk di kampung saya merupakan bekas tahanan Romusha pada masa penjajahan Jepang. Kampung itu dibagi ke orang-orang yang tidak punya tanah, setelah masa perjuangan 1945 selesai.
Setelah tahun 1965, rumah saya dihancurkan oleh warga dipimpin oleh Koramil. Barang-barang saya habis dan dijarah. Anak saya nomor 5 baru berusia 10 bulan, digulung dalam kasur dan mau dimasukkan sumur. Tapi ada tetangga perempuan yang baik, dia bertelanjang bulat agar massa yang mengamuk malu dan tidak jadi membunuh anak saya.
Pimpinan Sarikat Buruh terkait dengan SOBSI tapi bagi kami, SOBSI bukan PKI. Saya ditangkap, lari dengan istri saya. Anak saya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bapaknya terkait PKI. Itulah jahatnya Suharto. Di tahanan militer, saya dipindahkan ke Kalisosok, penjara maut. Kita tidak dikirim makan oleh keluarga. Barang-barang kita yang baik akan dirampas oleh sipir Kalisosok. Banyak tahanan Kalisosok yang meninggal karena kurang makan. Ada 500 orang tahanan yang meninggal. Kalau ada teman meninggal, kita buat seakan mereka masih hidup agar jatah makannya dapat diambil kawan yang lain. Tahanan sering mengalami kekerasan. Saya ditahan selama sekitar 2 tahun tapi di tahanan militer yang kondisinya masih cukup baik. Saya dipindah-pindah terus. Setelah Bung Karno meninggal, saya dipindah ke Nusakambangan. Saya dikasih makan daun singkong yang busuk. Jumlah tahanan sangat besar sehingga kondisi sangat tidak layak. Kemudian saya dipindah ke Pulau Buru. Dari transit ke tempat penahanan, saya jalan 1 minggu melewati hutan dan rawa-rawa.
Jatah makan di Pulau Buru 6 bulan. Baru 4 bulan, jatah beras sudah tidak ada. Saya berusaha sekuat tenaga, unit saya paling jauh dari Ramlaya. Di sana jatah habis, maka kita tanam ketela dan singkong. Sampai 3 tahun makan singkong tanpa lauk lain. Kita makan di sana seadanya termasuk tikus, apa pun untuk mempertahankan diri. Tiap 3 bulan sekali ada yang datang dari luar negeri tapi mereka dari negara kapitalis. Saya bertanya ke orang itu. Pak, bagaimana perbandingan tahanan politik di Indonesia dan di luar negeri. Dia mengatakan kondisi tapol paling jelek adalah Indonesia. Pada waktu itu, orang-orang yang bukan PKI pun ditangkap.
Dulu di tiap kampung sering ada tarian genjer-genjer. Setelah G30S, menonton tarian itu saja sudah dianggap PKI. Yang melakukan penculikan para jenderal itu adalah militer sendiri. Kita tidak tahu apa-apa. Di Wonokusumo, pemuda rakyat banyak dibunuh di jalan-jalan. Itu sekedar yang ingin saya sampaikan. Mudah-mudahan peristiwa ini tidak terulang lagi di masa sekarang agar NKRI tidak buyar. Pemerintah belum memihak ke kepentingan rakyat. Sampai sekarang banyak warga desa yang kelaparan. Pesan saya pendidikan dan kerukunan harus diutamakan.
Tanya jawab
Pertanyaan 1
Rezim Suharto memang dikenal kejam kemudian datang angkatan 66. Angkatan 66 ini berpihak ke Suharto atau siapa? Angkatan 66 membawa modernisasi. Saya ingin kejelasan apakah mereka bagian dari orang-orang yang mengkudeta Suharto?
Pertanyaan 2
Anarkis atau pembantaian itu melanggar HAM. Hanya kalau kita lihat PKI, kenapa mereka waktu itu dibantai Suharto karena ada kesalahan ingin merebut kekuasaan. Di Uni Soviet, penduduk Muslim dan Hindu dibantai dan jumlahnya lebih besar. Di Serbia juga terjadi pembantaian yang luar biasa. Bapak-bapak ini condong kepada komunisme. Alasan Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966
adalah karena takut ada kecurigaan. Menurut saya, janganlah kita terlalu lebay masalah PKI di Indonesia.
Juir
Kita tidak sedang membicarakan partai komunis dan sebagainya. Kami diundang untuk menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Tidak bisa dipungkiri pembantaian terjadi di berbagai belahan dunia. Kita bicarakan sejarah kita sendiri. Sampai sekarang kita tidak menemukan aktor di balik 65, apakah dilakukan Suharto atau ada kekuasaan yang lain.
Perlu ditekankan bahwa korban yang dibantai bukan hanya kader PKI, melainkan ribuan orang yang di-PKI-kan. Pelabelan ini yang berbahaya. Angkatan 66 yang melakukan aksi tidak ada sangkut paut dengan PKI. Mereka adalah mahasiswa yang digerakkan oleh intelijen AS untuk menjatuhkan Sukarno. Ada konflik PKI dengan militer. Kedua kelompok ini menyandarkan kekuasaannya kepada Sukarno. Sukarno menyiapkan laskar rakyat untuk ganyang Malaysia dan menasionalisasi perusahaan Inggris. Nasionalisasi perusahaan diambil alih oleh tentara. Tentara ingin berkuasa. Sukarno beberapa kali ingin dibunuh karena dianggap penghalang jalan oleh sekutu Barat. Informasi tentang Angkatan 66 bisa dibaca di jurnal-jurnal sosial. Dalam konteks ini, kita tidak bicara baik buruk seseorang. Orang yang beragama Islam pun banyak dibunuh dan menjadi korban 65 karena dianggap bergabung dengan partai komunis.
Pertanyaan 3
Ini bukan perkara jumlah dan tidak perlu disamakan dengan pembantaian muslim atau di Tibet. Di Indonesia sendiri jumlah korban masih simpang siur. Sarwo Edhi bilang 3 juta korban. Korban ini adalah manusia. Di Indonesia, korban PKI tidak mendapat bantuan advokasi. Di Jerman, korban holocaust diberi pertanda di depan rumahnya untuk menghindari stereotipe. Taktik pelabelan juga dilakukan di kasus Kedung Ombo. Itu isu-isu yang dimainkan oleh rezim Orde Baru. Advokasi korban secara langsung atau diskusi bisa membuka apa itu komunisme untuk generasi 90 ke atas.
Pertanyaan 4
Saya ingin tanya dulu. Bapak-bapak yang di depan ini, memihak yang mana, ada di barisan mana? Kalau seumpama bapak ada di barisan PKI, wajar saja dibantai. Karena ada asal-usul, ada asap karena ada api. Jenderal-jenderal pejuang juga dibantai oleh PKI.
Pertanyaan 5
Kalau masalah komunisme, saya bicara UU, komunisme adalah atheisme. Kalau kita lihat konstitusi kita, dalam UUD 45 negara kita didasarkan atas Ketuhanan. Dalam sila ke-1 semua anak TK sudah hapal, Ketuhanan yang Maha Esa. Suharto melanggar UUD kita. Saya tidak setuju dengan pembantaian tapi lebih tidak setuju kalau komunisme ada di Indonesia.
Tanggapan 1
Saya sarankan bagi rekan-rekan untuk membaca dan memahami kembali apa itu komunisme sebelum berkomentar.
Tanggapan 2 (Maria)
Dalam diskusi ini kita melihat komunis phobia. Atheisme penekanannya pada teologi. Apa yang diajarkan Nabi Muhammad dan Marx sebenarnya sama. Yang membedakannya adalah pembacaan Marx sementara akar Muhammad adalah genealogis. Isu yang diangkat mereka berdua adalah perebutan akses ekonomi dan politik yang dibalut secara ideologis.
Jangan lupa juga, kita punya 5 sila dalam Pancasila jadi tidak bisa menonjolkan satu sila saja. Lima sila tersebut adalah kesatuan. Kemudian jangan lupa dengan semboyan yang ada di bawah kelima sila itu yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Semuanya adalah fondasi dari bangsa ini.
Alasan KI mengangkat isu ini bukan untuk mengangkat pro dan kontra 65 melainkan melihat kembali tentang sejarah kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia. Saya tidak bicara ideologi. Bapak saya sendiri adalah pembantai korban. Kita ingin bicarakan seperti apa bentuk kekerasan yang terjadi dan bagaimana kekerasan dilegalkan, disahkan dan dihapus seolah-olah tidak pernah terjadi. Di Argentina pernah terjadi pembantaian massal tapi mereka mengakui kesalahan tersebut. Mereka mengatakan ada kekerasan dan mereka membuat tugu tapi tidak dinamakan tugu jepang atau australia. Mereka mengakui dan memberi penjelasan kepada generasi yang lebih muda.
Om Greg adalah seniman anggota Lekra. Lekra adalah sekelompok seniman. Saya jarang menemukan seniman yang bisa berbicara tentang kejadian 65.
Kesaksian Greg
Saya berterima kasih kita bisa bertemu dengan generasi dimana terjadi peristiwa 48 tahun yang lalu. Setelah saya bertemu dengan anda, saya tidak paham ideologi dll. Setelah 15 tahun disekap di dunia yang lain, saya tidak membayangkan situasi seperti ini.
Seniman itu luas pengertiannya. Saya bukan orang komunis. Saya berdampingan dengan orang-orang dari HMI. Di Pulau Buru ada banyak korban 65 yang tidak terkait dengan PKI. Saya ngeri. Ada stereotipe, PKI itu jelek-jelek, merah, tidak beragama, sadis. Memang ada yang seperti itu.
Adik-adik lahir tahun berapa? 1995, 1990. Saya ditahan tahun 1967. Saya bercita-cita menjadi aktor. Tahu Ratna Timoer, Bing Slamet, dll. Saya ingin tanya, siapa yang mengarang lagu ini? (Pak Greg bernyanyi).
Judulnya apa? Terang Bulan. Pengarang siapa? Gesang adalah anggota KSSI yaitu Kesatuan Seniman … Indonesia. Umur saya 74 tahun. Gesang adalah salah satu seniman Lekra tapi orang tidak berani mengatakan seperti itu. Terang Bulan itu menjadi lagu Malaysia dan dicuri pada saat Ganyang Malaysia.
Di Pulau Buru ada orang NU dan PNI. Mereka bukan PKI. Mereka tidak paham Marxisme atau Marhaenisme. Yang paham adalah para sarjana, saya sendiri tidak tahu. Merinding jika mendengarkan perdebatan Marxisme karena saya seorang seniman, saya terjun dalam bidang seni rupa. Lukisan saya di Pulau Buru berbeda dengan pelukis akademik. Affandi adalah salah satu pendiri Lekra. Orang-orang Lekra di Jawa Timur masih ada tapi sebagian masih takut bertemu orang lain. Saya punya tanggung jawab moral sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menceritakan kejadian G30S.
Ketika masuk Lekra, saya tidak tahu bahwa yang mendirikan adalah orang komunis. Ada beberapa lembaga budaya lain, PNII punya Lesbumi, lembaga sosial budaya. Lekra adalah lembaga kesenian rakyat, kami tidak mencari anggota. Lekra ada di tengah-tengah masyarakat, anak muda. Di Lekra, kesenian yang diangkat adalah kesenian ndeso-ndeso. Lekra membesar, ada lembaga kesenian, lembaga tari, ketoprak, ludruk yang muncul dari rakyat. Tidak ada ludruk bercerita tentang kelompok priyayi yang istimewa, tapi bercerita masyarakat yang tertindas, misalnya njaranan dan reog. Saya termasuk golongan priyayi. Saya Islam tapi saya disekolahkan di sekolah Katolik.
Tahanan di Pulau Buru tidak semuanya dari ormas. Dulu Slamet Raharjo ingin membuat film Marsinah. Kenapa hanya Marsinah dan kenapa membuatnya di Jogja bukan di Surabaya. Kenapa tidak membuat film Bumi Manusia? Dia tidak berani, sulit mencari figur Nyai Ontosoroh.
Pertanyaan 1
Saya ingin tegaskan, suasana sudah malam, perdebatan makin hangat. Saya tidak ingin ada kisah romantisme historis tadi. Saya ingin pada perbandingan apa yang sudah saya lihat. Saya lihat ada pembantaian, tapi refleksi dari apa yang disampaikan tadi untuk dilihat ke masa kini. Apa yang menjadi kecurigaan adalah masa lalu adalah masa lalu, masa lalu biarlah masa lalu. Kecurigaan saya, apakah orang-orang ini membela korban? Barangkali ini lebih pada refleksi untuk menggali apa yang bisa diambil dan apa yang kita buang.
Refleksi anda bagaimana? (pertanyaan moderator)
Yang harus kita lakukan, waktu itu ada pembantaian, ada pelegalan. Lihat konteks kekinian. Kak, ada pembandingnya gak? Tidak ada. Ini hanya penyampaian kisah lama dan kita akan menguak itu. Kita tidak ingin ada dilematis historis yang mencekam.
Pernyataan 2
Apakah setuju genocida itu terjadi? Kita tidak setuju. Ada tekanan oleh rezim Suharto. Pembantaian terjadi dimana-mana. Apa masyarakat mencintai kekerasan dan pembantaian?
Pertanyaan 3
Saya ingin mengapreasiasi kehadiran saya di sini dan bertemu bapak-bapak di depan. Perjuangan bapak untuk bisa eksis dan bertahan hingga saat ini sangat berat. Saya sangat mengapresiasi. Melihat bapak di era yang berbeda di masa sekarang, apa sih tanggapan bapak membandingkannya? Apa harapan bapak terhadap kami yang masih muda, di luar pendapat tentang ideologi yang bolehlah kita pintar tapi jangan terlalu norak.
Tanggapan Pak Greg
Bagaimana saya mengikuti perkembangan budaya dari masa ke masa, orde baru dan reformasi. Zaman Sukarno sudah ada sistem ekonomi, budaya politik. Sukarno menolak budaya impor. Tahun 1945-46 sudah ada film Amerika, saya sudah nonton film Amerika. Saya terpengaruh.
Modal asing di zaman Sukarno tidak boleh masuk. Sekarang, air saja kita tidak bisa menikmati bebas. Saya tergila-gila menonton sinetron di RCTI. Budaya mencerminkan kondisi di masyarakat. Coba kalian bikin skenario cerita pendek. Saya mengharapkan itu, membuat film agar masuk ke media tv. Kalau itu sulit, masuk ke pentas drama, drama arena. Harapan kita, bagi mereka yang masih peduli, silakan menulis untuk membela keadilan dan dipentaskan.
Dalam hal lukisan, patung selamat datang, siapa yang buat dan siapa pelukis istana. Banyak pelukis istana senior yang dibuang di Pulau Buru tapi mereka disendirikan di sebuah vila. Mereka disuruh membuat lukisan karena karya mereka sangat mahal. Di Pulau Buru ada 20 unit lebih pemukiman. Tiap unit terdiri dari 500 orang.
Di sana tidak ada petani, tidak ada suplai beras. Tahanan boleh bicara politik tapi yang pancasilais. Tahanan terus menerus dalam pengawasan. Rumput pun bisa bicara. Tahanan dibuat berkelas-kelas.
Tanggapan
Sebagai refleksi, dalam diskusi selalu ada pro dan kontra. Perbedaan selalu ada tapi itu bukan alasan untuk melakukan kekerasan. Bagi yang mencari pembanding, kita bisa membandingkan kondisi 65 dengan kondisi saat ini. Sampai sekarang kekerasan terhadap kelompok minoritas masih terjadi. Saya belajar dari diskusi ini bahwa fanatisme yang kaku sering membuat seseorang mudah dihasut untuk melakukan kekerasan dan tidak berpikir panjang. Harapan saya semoga kejadian 65 tidak terulang lagi.
Terima kasih atas tanggapannya yang sekaligus juga merangkum diskusi ini. Saya juga berterima kasih pada kawan-kawan yang sudah hadir. Saya kembalikan ke Fitri.
Fitri mengucapkan terima kasih atas kehadiran narasumber dan peserta diskusi, kemudian menutup acara dan mengajak berfoto bersama.
– 00 –

