Pemikiran Gayle Rubin merupakan pemikiran yang patut kita cermati dan kita telaah lebih jauh, terutama dari buku karya Carole Vance yang berjudul Pleasure And Danger. Dalam buku tersebut Gayle Rubin menulis satu artikel tentang Exploring Female Sexuality, yaitu membahas soal Teori Radikal Dalam Politik Seksualitas (Thinking Sex : Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality) hal 267-284.
Teori ini akan membuka wacana atau menjawab mengapa seksualitas begitu tabu dan terperangkap pada hal yang baik dan buruk saja? Gayle Rubin dalam teori radikal itu menawarkan beberapa konsep dasar untuk membuka wacana seksualitas dari pandangan feminis.
Menurut Rubin, ada 6 hal yang perlu dilihat bagaimana seksualitas direpresif secara sistematis oleh politik, sosial, budaya maupun ekonomi, diantaranya:
Pertama ia menjelaskan tentang sex esensi (Sexual Essentialisme), menganggap bahwa sex yang benar adalah sex yang mengikuti kaidah-kaidah “umum”nya orang. Dalam hal ini kekuasaan dan kebenaran pengetahuan menjadi ukuran baik-buruknya seksualitas. Misalnya bagaimana homoseksual dikatakan abnormal yang ditentukan oleh ilmu pengetahuan (dalam hal ini psikologi misalnya). Lembaga-lembaga ini yang kemudian digunakan oleh negara untuk mengatur seksualitas yang dianggap sebagai suatu yang benar atau esensial. Kalau dikaitkan dengan pemikiran Michel Faucault, seorang philosof Perancis bahwa pengetahuan melahirkan kekuasaan itu karena pengetahuan orang atau sekelompok orang dapat mendefinisikan seksualitas mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga disinilah pemikiran Gayle Rubin dapat di ”kawinkan” dengan teori Faucault tentang pengetahuan dan kuasa tersebut.
Kedua yang dinamakan dengan Sex negativity, yaitu bahwa sex adalah sesuatu yang membahayakan bagi diri manusia. Sex dianggap sesuatu yang kotor sehingga layak diatur sedemikian rupa supaya menjadi suci. Kita bisa lihat bagaimana masa Victorian di Inggris melihat sex begitu direpresif dan diatur secara ketat. Sex yang positif adalah sex yang menikah dan heteroseksual. Sex yang dilakukan selain itu seperti anal sex,oral sex,onani,masturbasi,homoseksual dianggap salah dan kotor. Konsep pengelompokkan inilah yang meyebabkan dikotomi opoisi biner, ini sex baik dan ini sex tidak baik.
Ketiga, Rubin menjelaskan soal teori The Fallact of misplaced scale, yaitu ketika sex dianggap meyimpang atau negative maka harus diberikan sanksi. Siapa yang akan memberikan sanksi tersebut? Pelakunya dapat negara, lembaga agama maupun kelompok adat. Dalam kebijakan negara misalnya kita bisa lihat maraknya kebijakan kriminalisasi pelaku zina, prostitusi dan homoseksual di Indonesia. Kemudian juga orang yang melakukan onani atau praktek-praktek homoseksual, heteroeksual diluar pernikahan (baca kumpul kebo) akan dikenakan sanksi sosial, adat maupun sanksi hukum. Dalam hal ini Rubin melihat bahwa politik negara mempunyai peran penting dalam mengkrimininalkan sex yang dianggap negative itu.
Keempat, yaitu apa yang disebut dengan The hierarchiceh system of sexual Value. Sex yang dikelompokkan secara hirarki dari mulai yang paling baik sampai paling buruk. Digambarkan ibarat bangunan Piramid. Ujung atasnya sebagai gambaran Credit union locations yang paling mulia.
Tingkatan paling atas atau yang paling baik seperti menikah,heteroseksual,monogami,bereproduksi dan dilakukan dalam kerangka rumah tangga.
Tingkatan kedua sex yang buruk atau tingkat menengah misalnya orang yang tidak menikah,hipersex yang heterosexual,masturbasi dan homoseksual.
Tingkatan yang ketiga atau yang paling buruk adalah kelompok transeksual,transvestites/waria,sadomasokis,pekerja sex,cross generation (orang yang lebih tua dengan anak yang lebih muda). Tingkatan-tingkatan ini sepertinya masih sangat relevan sekali dalam konteks Indonesia.
Kelima adalah teori The domino theory of sexual peril, pada teori ini Rubin menjelaskan pentingnya demokrasi morality atau demokrasi keintiman. Menurutnya bahwa sex selama dilakukan atas kuasa yang timpang antara satu pihak dengan pihak lainnya. Misalnya praktek paedofil, poligami, kawin paksa,pemerkosaan. Praktek-praktek sex seperti ini menempatkan yang satu lebih berkuasa dengan lainnya (ada subjek dan objek). Sama sekali tidak ada ruang demokrasi yang seimbang antara yang satu dengan lainnya. Sehingga Rubin menjelaskan bagaimana membongkar praktek-praktek dominasi hubungan seks seperti ini.
Dominasi ini bisa saja terjadi pada kelompok homoseksual, heteroseksual atau dalam hubungan perkawinan yang “sah” atau tidak. Kalau dalam kelompok homoseksual misalnya istilah Top dan Bottom (gay) dan Butch dan Femm (Lesbian). Gayle Rubin menegaskan bahwa dalam berhubungan sex yang paling penting adalah kesetaraan yang satu dengan lainnya tanpa adanya dominasi dalam bentuk apapun, baik pada kelompok heteroseksual maupun homoseksual.
Keenam, yaitu teori The denial of benign sexual variation. Maksudnya ada keberagaman seksualitas dalam diri manusia. Mulai dari orientasi seksual, identitas gender sampai para prilaku seksual manusia.Tidak ada seksualitas manusia yang tunggal atau seragam. Keberagaman itu adalah sesuatu yang paling mendasar pada kehidupan manusia. Termasuk dalam hal seksualitas. Ada berbagai macam tingkah laku manusia untuk mendapatkan kenikmatan atau orgasme. Misalnya dengan melakukan penetrasi, masturbasi, anal sex, oral sex, onani, ciuman dan pelukan. Baik dilakukan oleh homoseksual maupun heteroseksual. Termasuk juga kenikmatan sex melalui orgy (sex beramai-ramai). Jadi meyeragaman seksualitas manusia melalui frame atau aturan moral tertentu justru membuat manusia tidak bisa merasakan kenikmatan seksualitas yang diinginkan. Atau dapat disebut dengan keterkungkungan akan sex. Kesepakatan soal sex menjadi otoritas individu dengan pasangannya.
Itulah enam hal yang dikaji oleh Gayle Rubin dalam buku tersebut. Pemikiran ini mengajak kita untuk memahami mengapa seksualitas sampai sekarang begitu dikekang dan direpresif? Dengan enam analisa ini diharapkan kita memikirkan bagaimana manusia terbebaskan dari ketertindasan sex yang telah tertanam oleh budaya partriarki, maskulinitas, heterosentris yang terjadi sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Saatnya seksualitas harus dirayakan dengan bebas tanpa rasa takut dari pihak manapun. Dengan tetap pada prinsip kesetaraan, keadilan dan demokratis bagi setiap orang.(Othinx-Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
