Diskusi RUU Kesetaraan dan keadilan gender
Gazebo Fak. Kedokteran, Universitas Brawijaya
Jumat, 4 Mei 2012, 18:30 – 21:30
Agenda
– membahas latar belakang diajukannya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) versi KPPPA
– membahas pro dan kontra seputar RUU
– membahas kemungkinan dampak dari RUU ini dan bentuk aturan turunan yang akan dibuat.
Fasilitator: Maria Mustika
Proses Acara
– Diskusi dimulai dengan pertanyaan apakah RUU KKG ini hanya menguntungkan perempuan karena masyarakat awam masih melihat gender identik dengan konsep “perempuan” daripada relasi sosial laki-laki dan perempuan. Secara garis besar RUU ini memposisikan diri mencegah
– Sebagian aktivis perempuan yang mengusung dan merumuskan RUU KKG masih berdebat apakah RUU ini perlu diperjuangkan untuk lolos. Sebagian ada yang khawatir bahwa RUU ini tidak efektif, bahkan membawa perlawanan lebih besar terhadap gerakan perempuan. Namun bagi mereka yang mendukung, RUU ini dianggap penting untuk memberikan pengakuan terhadap adanya kekerasan berbasis gender.
– RUU KKG dirumuskan oleh aktivis perempuan yang tidak semuanya paham tentang isu LGBT. Sebagian juga merasa membawa isu keadilan bagi perempuan sendiri masih sulit dan mengalami resistensi yang sangat kuat. Namun Maria mengajak peserta juga dapat melihat celah dan nilai universal dalam RUU ini yang dapat digunakan bagi advokasi hak-hak LGBT. Misalnya dengan mempertanyakan apa saja yang termasuk dalam kekerasan berbasis gender (KBG) sehingga jika ada kasus pemukulan waria karena orientasi seksnya bisa dianggap sebagai KBG.
– Banyak negara di dunia yang sudah memiliki UU KKG, salah satunya Iran. Namun bukan berarti situasi perempuan dan kelompok gender lain sudah lebih baik. Salah satu alasan RUU ini disusun karena Indonesia sudah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) tahun 1984. UN Human Rights Council juga sudah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengakui hak-hak SOGI (sexual orientation and gender identity), sebuah konsep yang merujuk pada kelompok LGBT.
– Sejak RUU dan wacana keadilan digulirkan, sudah ada banyak pihak terutama dari pejabat/lembaga pemerintah dan ormas keagamaan yang menentang RUU ini. Misalnya menteri agama yang melihat RUU ini diusung oleh kelompok LGBT. Aisiyah, Muslimat NU, HTI, dan ormas keagamaan lain juga menentang diloloskannya RUU ini.
– Sebagian aktivis juga melihat ada agenda lain dari RUU ini. Misalnya ada yang melihat RUU ini sebagai proyek karena DPR memiliki target sekian RUU yang harus diproduksi sebagai pertanggungjawaban mereka. Saat ini ada 378 prolegnas (program legislasi nasional) berupa RUU yang antri untuk dibahas di DPR dan RUU KKG ini tidak masuk dalam 5 besar prolegnas. Sebagian juga pesimis bahwa RUU ini akan lolos mengingat pada tahun 2011 yang lalu aktivis perempuan dan buruh pernah mengajukan RUU Pekerja Rumah Tangga dan sekarang “hilang” dan tidak lagi dibicarakan. Sementara beberapa UU seputar militer seperti UU pengamanan konflik sosial dan UU intelijen negara relatif lebih cepat diloloskan karena ada kepentingan negara atau bisnis tertentu.
– Ada sikap pesimis bahwa UU ini nantinya tidak akan berjalan maksimal karena sebenarnya perangkat hukum yang ada sudah memadai, walaupun ada banyak substansi yang perlu diperbaiki, tapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan belum memahami hak-hak mereka. Selain itu penegak hukum juga banyak yang belum paham dan sering tidak menggunakan perangkat hukum yang dapat melindungi korban kekerasan.
– Ada pertanyaan yang juga umum disampaikan jika ada UU seputar keadilan gender yaitu bahwa UU ini akan memberikan kekuasaan lebih besar pada perempuan untuk mendominasi. Sementara siapapun yang dominan cenderung untuk men-subordinatkan kelompok yang lain. Apakah itu akan terjadi jika RUU ini lolos? Maria menjelaskan tentang konsep power shifting, bahwa kekuasaan tidak berdiam diri melainkan mencari titik keseimbangan dan mereka yang tertindas akan cenderung melawan untuk menggeser dan mengubah posisi kekuasaan. RUU ini berupaya memberi kekuatan agar perubahan posisi itu terjadi secara sistemik. Proses pergeseran dan perubahan tersebut tidak mudah dan tidak cepat terjadi. Biasanya disertai dengan perlawanan atau resistensi kelompok tertentu yang menginginkan status quo/kestabilan posisi nyaman yang mereka nikmati.
– Pengalaman dari kawan-kawan aktivis perempuan adalah selalu mencari celah sebesar apapun kekuasaan yang membatasi mereka. Apalagi banyak konsep hukum yang dibuat atas nama perempuan cenderung bukan melindungi hak asasi perempuan melainkan membatasi dan mengontrol tubuh perempuan.
– Diskusi kemudian membahas mengenai pelecehan seksual di transportasi umum. Sebagian besar laki-laki menganggap bahwa jika perempuan dilecehkan maka mereka bisa spontan membalasnya. Cara pandang itu berbeda dengan sosialisasi gender yang diinternalisasi oleh perempuan karena mereka tidak diajarkan dan tidak dituntut untuk bersuara atau menyatakan pendapat di depan umum dan inferior terhadap kekuasaan laki-laki. Perempuan juga diajarkan untuk menjaga tubuhnya sendiri sebagai aset reproduksi. Jadi ketika terjadi pelecehan pada dirinya, dia cenderung merasa malu, marah, terhina, tidak dihargai tapi hanya sedikit sekali yang mampu mengekspresikan protes mereka secara verbal atau mengadukannya.
– Ketika membahas mengenai kekuasaan patriarki dan pergeseran kekuasaan, Maria mengingatkan bahwa pada awalnya perempuan memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam kehidupan keluarga dan sosial. Pada masa awal kehidupan masyarakat, dewa dan dewi dipuja secara setara sehingga ada dewi kesuburan, konsep ibu pertiwi, ibukota, Milky Way (galaksi bima sakti), mother land, dll. Masyarakat Amazon di Brasil sering dirujuk sebagai masyarakat yang baik laki-laki dan perempuan memiliki tugas, keahlian, dan kapasitas yang sama.
– Kemudian terjadi invasi masyarakat patrilineal ke masyarakat/peradaban lain untuk menyebarkan dan mengubah tatanan kekuasaan yang sebelumnya sudah ada. Proses perubahan itu didukung dengan kemunculan agama-agama samawi yang sebagian besar penafsiran dan implementasinya terpengaruh oleh budaya patriarki. Didukung juga dengan perkembangan lain seperti revolusi industri yang menuntut spesialisasi dan pemisahan pekerjaan publik dan domestik secara tegas.
– Sejarah tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan dan pergeseran nilai dan kekuasaan. Kekuasaan bergerak dinamis dan kelompok yang diperlakukan tidak adil akan melawan dan menuntut posisi tawar yang lebih kuat, sementara kelompok yang sudah memegang kekuasaan akan terus mempertahankan kekuasaan mereka.
– Zuraida menanyakan: apa kira-kira dampak dari RUU ini bagi masyarakat di lokasi pedesaan yang terpencil? Karena selama ini dengan ada banyak UU, masyarakat yang terpencil masih belum merasakan dampak perubahan dalam hidup mereka.
– Pertanyaan ini diajukan berdasarkan pengalamannya sebagai perempuan muda yang lahir dan besar di Madura. Ketika lulus SD, dia sudah didaftarkan untuk bekerja di Malaysia. Namun waktu itu ada masalah di Malaysia sehingga dia tidak jadi berangkat. Dia minta melanjutkan SMP. Setelah lulus SMP, dia kembali didaftarkan oleh keluarga untuk bekerja di Arab Saudi tapi gagal berangkat. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan sangat kuat dan dia berbicara kepada ibunya mengenai niat untuk lanjut sampai dengan SMA. Pada waktu SMA, sebagian kawan-kawannya sudah ada yang kawin sehingga orang tuanya gelisah. Dengan tekad yang kuat dan melalui pendekatan diplomasi ke orang tua, terutama ibu, dia dapat kuliah di UIN Malang. Dia merelakan emas dari orang tua dan motornya dijual untuk kuliah di Malang.
– Cerita Zuraida menunjukkan bahwa ketidakadilan terhadap (anak) perempuan masih banyak terjadi. Peserta yang lain menceritakan di daerahnya anak-anak laki dipaksa bekerja di jermal atau menjadi nelayan dan berhenti dari sekolah. Ini menunjukkan tidak hanya perempuan yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap hak mereka sebagai anak-anak.
– Menjawab Zuraida, UU akan memiliki dampak jika masyarakat paham dan memiliki kesadaran untuk menuntut hak mereka. Proses tersebut dapat dimulai dari lingkungan terkecil dengan mengorganisir yaitu keluarga, RT dan RW.
– Cerita Zuraida juga menunjukkan bahwa perubahan dapat terjadi melalui pendekatan personal dan tanpa kekerasan. Cara-cara ini yang banyak dipakai perempuan karena mereka tidak memiliki akses ke alat-alat kekerasan. Cara-cara ini juga yang dapat digunakan untuk memastikan UU atau aturan di tingkat nasional dapat dipahami dan dijalankan di wilayah-wilayah terpencil yang jauh dari pusat pemerintahan.
– Perubahan keseimbangan kekuasaan sering dilihat sebagai ancaman terhadap kestabilan dan kenyamanan tatanan nilai yang mapan. Maria mengajak peserta untuk melihat dan mengkritisi kekuasaan nilai dominan yang sudah tertanam dalam setiap peserta. Proses menggugat, mengobok-obok, mempertanyakan nilai dominan ini yang perlu ditumbuhkan. Dia sendiri berawal dari seorang homophobic (orang yang membenci kelompok homoseksual) tapi kemudian ada beberapa kejadian yang mengobok-obok keyakinannya dan dia mulai belajar dan membuka diri terhadap perbedaan.
