Diskusi Perlindungan Buruh

Diskusi rutin komunitas KOJIGEMA dengan tema Perlindungan Buruh Perempuan, pada tanggal 15 Juni 2012 bertempat fi sekretariat PMII Brawijaya, JL Gajayana Malang. Diskusi ini berlangsung pada jam 18.00-21.00 WIB setempat dengan narasumber Nuraini (Alumnus Universitas Brawijaya).

UU 13 tahun 2003, memposisikan buruh dan majikan setara tapi kebanyakan melihat melihat hubungan keduanya sebagai yang menindas dan tertindas. Masalah ketenagakerjaan antara lain pengupahan, waktu/jam kerja, perlindungan buruh, hak berserikat, keselamatan kerja, dan usia pekerja. Pada waktu semester 6, saya pernah ikut kuliah advokasi hukum dan ikut dalam serikat buruh. Kasus yang banyak ditangani adalah upah minimun kerja. Hak buruh perempuan belum terakomodir dan seringkali waktu bekerja melebihi batas dalam UU. Kondisi demikian menjadi fenomena umum dalam pola perburuhan di Indonesia. Ironisnya, kondisi tersebut belum dapat diselesaikan oleh persatuan serikat buruh di Indonesia.

Bagaimanapun juga, realita tersebut sangat bertentangan dengan UU 13/2003 yang mengatur tentang perlindungan buruh. Undang-undang tersebut secara umum berisi tentang perlindungan buruh dari eksploitasi para kapitalis. Akan tetapi, implementasi dari Undang-Undang tersebut belum dapat dilaksanakan secara maksimal hingga sekarang. Kondisi yang terjadi saat ini adalah buruknya perlindungan terhadap buruh terutama buruh perempuan, mengindikasikan adanya bias antara peraturan pemerintah dengan implementasi. Padahal pemerintah berkewajiban menjamin perlindungan bagi buruh.

Lebih dalam lagi, titik berat permasalahan buruh terletak pada perlindungan buruh perempuan. Misalnya, terkait dengan permasalahan cuti melahirkan, kemudian kasus para buruh yang tidak diberikan tunjangan biaya melahirkan. Idealnya, buruh perempuan mendapatkan hak sebesar 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Akan tetapi, hak tersebut belum dirasakan oleh semua buruh. Selain hak reproduksi, ada pula pelanggaran terhadap jam kerja buruh. Pasal 76 UU No. 13/2003 menyatakan pengusaha yang memperkerjakan perempuan antara pukul 23.00 sampai 07.00 wajib:

memberikan makanan dan minuman bergizi
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00.

Ada masalah minimnya kesehatan yang selayaknya diperoleh buruh. Hal itu dapat dilihat dari pemberian makan dan minuman yang bergizi biasa digantikan dengan uang padahal itu tidak bisa digantikan.

Pengalaman lain terkait dengan permasalahan buruh juga ditemui di wilayah Kecamatan Pandaan. Secara topografi, Kecamatan Pandaan termasuk ke dalam wilayah padat industrial. Oleh karena itu, jumlah perusahaan dan buruh cukup banyak. Beberapa perusahaan besar di wilayah tersebut memiliki persatuan perserikatan buruh untuk menangani masalah terkait hak cuti dan perlindungan kesehatan. Akan tetapi, permasalahan lain muncul ketika para buruh yang tergabung dalam serikat pekerja tersebut diakomodir untuk menuntut hak yang selama ini telah diabaikan oleh para borjuis, para buruh lebih memilih diam dan tidak bertindak karena takut dipecat oleh pihak manajerial.

Kondisi demikian semakin diperparah ketika para buruh lebih memilih untuk menerima kondisi yang sudah dibentuk oleh para pemilik perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena angkatan kerja lebih besar dari lapangan kerja yang tersedia. Keadaan tersebut berakibat pada posisi tawar buruh semakin lemah dan sulit. Apalagi jika para buruh tidak memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kehidupan mereka yang lebih baik.

Sebenarnya, permasalahan yang muncul di kalangan buruh dapat diselesaikan melalui kerja sama yang dilakukan oleh stakeholder terkait, seperti pemerintah, pengusaha dan perwakilan buruh. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pengawalan dan kontrol terhadap pemenuhan hak-hak buruh di Indonesia, akan tetapi hal tersebut masih belum terjadi. Padahal, secara ideal proses perlindungan bagi para buruh dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu bipatriat dan tripartit.

Bipatriat merupakan pola pertemuan yang terjadi antara pengusaha dengan perwakilan buruh di wakil serikat buruh. Proses dalam bipatriat dilakukan beberapa kali. Apabila dalam pertemuan antara pengusaha dan perwakilan buruh tidak terjadi kesepakatan maka tahap selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu tripartit. Tripartiat merupakan pertemuan yang melibatkan pihak ketiga untuk proses konsolidasi masalah. Stakeholder yang terlibat dalam tripartiat adalah pemerintah dari Dinas Tenaga Kerja, pengusaha dan buruh. Dalam hal ini, pemerintah lebih mengambil peran sebagai mediator.

Langkah selanjutnya, apabila tripatriat tidak berhasil, maka permasalahan akan diarahkan ke pengadilan hubungan industrial. Namun, selama ini proses penyelesaian masalah melaui jalur pengadilan seringkali dianggap kurang efektif. Karena, pada saat kasus masuk di pengadilan, kadang sudah ada beberapa buruh yang di PHK.

Berdasarkan permasalahan yang telah dideskripsikan pada bagian diatas, muncul beberapa pertanyaan terkait dengan upaya implementasi yang bisa dilakukan oleh para kelompok yang peduli terhadap isu buruh. Misalnya saja, bagaimana kita membangun kesadaran melihat kondisi/posisi buruh yang lemah? Bagaimana mengfungsikan serikat buruh. Bagaimana menggerakkan buruh dengan memberi pendidikan pada pengurus serikat buruh? Misalnya di Malang, serikat buruh apa saja yang ada di Malang dan gerakan apa yang sudah mereka lakukan.

Sejauh ini, beberapa pertanyaan tersebut terangkum dalam sebuah tujuan untuk mengorganisir gerakan buruh dan meminimalisir ketidakadilan yang dialami buruh. Untuk berbicara tentag penyadaran buruh, kita tidak hanya cukup melakukan penyadaran di tingkat buruh saja, melainkan juga bagi para pemilik modal juga. Karena, ada asumsi bahwa tidak semua pemilik saham tahu dan ingin tahu tentang UU yang dibuat pemerintah. Oleh karena itu, seharusnya proses sosialisasi tentang penyadaran implementasi bisa dilakukan kepada buruh dan pengusaha.

Selain itu, perlu www.mg-order.com disadari pula bahwa terdapat satu kekuatan yang selama ini luput dari kesadaran, yaitu kekuatan media massa. Saat ini, masih jarang terekspose kasus kekerasan rii maupun latent yang secara berkala terungkap di media massa. Padahal, melalui media massa kasus ketidakadilan yang menyerang buruh dapat diekspose untuk kemudian digunakan sebagai bahan refleksi dan prefentif bagi para pemangku kepentingan dalam sebuah rantai industrialisasi.

Sesi tanya jawab:

T: Bagaimana posisi serikat buruh? Apakah harus independen dari struktur perusahaan? Seringkali dijumpai individu dalam serikat buruh mengalami penekanan oleh pihak manajerial melalui pemberian gaji tinggi tapi tidak boleh bersuara. Bagaimana dengan hal tersebut?

J: Anggota serikat buruh adalah pekerja di suatu perusahaan atau tidak hanya satu perusahaan. Perusahaan punya kewajiban memiliki perwakilan buruh dari perusahaan. Serikat: sebuah wadah buruh untuk bisa membicarakan hak-haknya. SBSI, SPSI, SPMI adalah serikat buruh yang memiliki kedudukan kuat.

T: Apakah dari perusahaan sendiri, proses sosialisasi ke buruh sudah dilakukan terkait dengan UU yang membela hak buruh?

J: Kewajiban tersebut seharusnya menjadi kesadaran bersama, yaitu kesadaran antara para calon pkerja dan pihak pengusaha yang diwakili oleh HRD. Pada saat proses seleksi para pekerja perlu transparansi antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh para pekerja. Ironisnya, selama ini hal tersebut jarang dilakukan karena para pekerja hanya menanyakan informasi seputar gaji, tunjangan.

T: Apakah ada monitoring rutin dari pemerintah? Mereka punya greget gak untuk melindungi buruh?

Aku pernah magang di Aqua. Mereka mengutamakan safety and secure karyawan tapi itu untuk kepentingan perusahaan juga agar mereka tidak dituntut jika ada kecelakaan kerja.

J: Pengawalan bipatrit dan tripatrit. Pencegahan sengketa itu harusnya Disnaker punya wewenang. Bicara keterbukaan akuntansi dan peraturan perusahaan juga dilaporkan ke disnaker. Peran disnaker ada tapi tidak efektif. Pengalaman saya kemarin perusahaan tidak melaporkan ke disnaker dan disnaker tidak menegur. Pengalaman advokasi buruh hanya sewaktu kuliah. Masalahnya middle class seperti apa. Kelas menengah punya kuasa. Siapa saja yang ada di mereka? Jangan-jangan borjuis mengaku proletar. Tidak semua buruh proletar, sebagian punya akses, dan punya ekonomi produktif miliknya sendiri. Banyak yang seperti itu tapi seberapa banyak peduli dengan kondisi sosial yang ada. Kalau kawan-kawan selesai kuliah dan bekerja. Kamu manajer bank, kamu masuk middle, siapa yang dianggap proletar satpam. Kepedulian beriringan dengan idealisme ditanam terus sebagai gerakan itu yang sangat sulit.

T: Bagaimana dengan kawan-kawan transgender yang ingin mendaftar dalam pekerjaan? Sesuai UU bagi para buruh harus termasuk dalam masuk ke laki-laki. lalu bagaimana mereka mengekspresikan gender mereka di tempat kerja. Karena selama ini transgender lebih banyak berkecimpung di usaha informal.

J: semua pekerjaan dapat dilakukan secara profesional. Tidak mungkin kemudian saat bekerja seorang laki-laki berdandan dengan menor. Oleh karena itu, sebenarnya transgenderpun dapat pekerja tapi juga harus menyesuaikan diri di tempat kerja dengan bersikap tidak berlebihan.

T: Saya dari Sambas, Kalbar. Ada banyak sekali buruh di perkebunan karet, lada dan sawit. Sebagian adalah perempuan. Akan tetapi, banyak LSM perempuan yang mengadvokasi buruh perempuan tidak berpengaruh. Wacana gender dan feminis lebih tenar di kalangan mahasiswa. Saya miris, tidak ada pemerataan kapasitas bagi individu di dalam LSM perempuan. Di sana juga dapat dikatakan sebagai daerah yang sangat tidak ramah gender. Apa saya harus menjadi pelopor di sana ketika balik ke Sambas? Apa kawan-kawan ada informasi untuk membantu kondisi di sana?

J: Kalau bicara gender biasanya mengasosiasikan dengan perempuan dan bicara persamaan. Saya ingin mencontohkan pendekatan community organizer dimana kita tidak langsung menembak ke penjelasan secara definisional tentang gender. Bahkan kita tidak perlu menggunakan kata gender di awal perkenalan. Melainkan dilakukan dengan mengambil isu yang dekat dengan mereka. Kita bisa mulai dengan mencari tahu apa yang disukai oleh masyarakat, masuk ke dalam diskusi-diskusi keseharian mereka, bicara tentang keluarga mereka. Kita juga bisa membangun kader-kader dari komunitas itu sendiri bukan dari staf LSM. Orang-orang ini yang akan dibawa dan diberi informasi mengenai kesadaran gender. PKK tidak bicara gender tapi bicara belanjaan. Cara-cara perempuan yang dipakai. Berbagi catatan kecil atau saling berbagi isu lokal ke daerah lain. Untuk melakukan perjuangan kepada perempuan terutama ibu-ibu dapat dilakukan melalui pendekatan permainana bahasa, misalnya penggunaan bahasa perempuan, bahasa mereka. Kita bicara dengan siapa, posisi kita dimana, strategi komunikasi. Potensi kita dimana. Kita punya perjuangan antara aktivis dengan media, lebih kuat media. Mereka tidak perlu teriak dan paham macam-macam tapi tinggal menulis. Itu strategi yang tepat dapat kita lakukan.

T: Saya seorang perempuan, tapi seandainya saya memposisikan diri sebagai laki-laki melihat diskusi kita hari ini? Sebenarnya posisi yang disebut kesetaraan gender ini seperti apa sih? Lalu posisi ideal setara yang diinginkan seperti apa?

J: Kesetaraan gender dapat terpenuhi ketika laki-laki dan perempuan saling memberikan kesempatan yang sama untuk mengerjakan pekerjaan keduanya. Misalnya saja di dalam perkebunan kelapa sawit, apabila seorang perempuan ingin mencoba bekerja disana, maka laki-laki dapat memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mencoba bekerja. Begitu pula sebaliknya. Misalnya laki-laki ingin berkecimpung di dunia masak, maka perempuan juga memberikan kesempatan bagi laki-laki. Sehingga, dari kondisi demikian akan tercipta komunikasi dan rasa saling menghargai untuk mencapai sebuah kesetaraan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *